“Film Soekarno-nya bagus, pak? Banyak kontroversi katanya? Ceritain, pak!” pesan istriku lewat ponsel penuh penasaran.
Aku hanya sekedar menjawab “iya” lalu menutup kembali ponsel sambil menunggu taxi yang mendadak susah dicari ketika hujan deras begini. Entahlah, semenjak datang ke Blitz Megaplex Grand Indonesia (13/12/1013) bersama rekan Blogger Reporter Indonesia untuk nobar (nonton bareng) Film Soekarno : Indonesia Merdeka ini, hujan tak henti-hentinya mengguyur kota Jakarta.
Bisa jadi, ini pertanda rejeki besar segera turun membasahi bumi pertiwi atau pertanda akan ada tangisan usai pemutaran film ini? Ya sudah, saya tak mau berandai-andai. Kita kembali bahas film ini saja dari beberapa sudut pandang saya, yaitu:
1. Sinematography
Langsung saja, secara teknis film ini layak mendapatkan bintang lima. Rating tertinggi dalam hal sinematograhy. Banyak hal yang membuatku mengacungkan jempol laik dizberulang-ulang.
Pertama tentunya adalah bahwa film ini 100% digarap para sineas Indonesia. Selain Hanung Bramantyo sebagai sutradara, kameramen, wardrop hingga katering konsumsinya. Kecuali figuran bule, tentunya. Hehehe.
Lalu coba perhatikan baik-baik bayangan yang timbul di setiap adegan. Jika sebagian besar film terkadang muncul bayangan ganda seperti bayangan pemain sepakbola di stadion atau malah tidak ada. Semua tampak natural atau alamiah. Bahkan saat suasana malam, beberapa kali kuperhatikan bayangan ikut bergoyang-goyang mengikuti cahaya obor. Ini artinya, film ini tidak memakai cahaya dan tata lampu buatan. Gila!
Sudah begitu, gambarnya begitu tajam dan halus dengan tone warna yang sangatcinematic look dan klasik. Perpindahan scene juga sangat halus. Tidak njomplang dari satu adegan ke adegan yang lainnya. Hal yang menunjukan bahwa penulis scriptsangat detail dalam membuat skenario dan story board-nya serta editornya sangat teliti dalam penyelesaian editing filmnya.
Sedangkan misteri kamera yang digunakan dalam film ini, film dengan pencahayaan yang sangat minim–yang membuatku dahiku berkerut tajam menebak-nebak, akhirnya terjawab saat mencoba menyelidik dari akun tweet @faozanrizal. Ternyata, film ini memakai kamera Arri Alexa. Pantes!
Sekedar informasi, kamera ini adalah “ferarri” nya kamera film yang mampu berkerja pada asa ISO 1600 dengan ketajaman maksimum, bahkan dimalam hari. Kamera yang hanya bisa “ditempel” kemampuannya oleh kamera sekelas Red Epic atauCanon C500.
Kalau dibandingkan kamera Sony Nex-VG30 ku yang biasa kupakai untuk ber-video blogging. Ya jauhlah, kawan! Hahaha…
2. Pemeran
Nah, kembali nilai bintang lima kuberikan kepada semua pemerannya. Walau sempat mendengar kabar ngambek-nya salah satu putri Bung Karno karena Anjasmara batal memerankan Bung Karno dan digantikan oleh Ario Bayu. Belum lagi banyaknya keraguan terhadap Ario yang dirasa kurang pas memerankan tokoh sebesar Bung Karno.
Namun, IMHO, Ario Bayu sangat pas memerankan Bung Karno. Gestur, ketegasan gerak badan, logat, cengkok Bung Karno mampu di adaptasikan oleh Ario. Bahkan sisi “flamboyan” yang lebih dikarenakan oleh kemampuan how to treat a woman - bukan jual tampang ala Bung Karno sukses dilakoninya. Mohon maaf kepada Anjasmara, wajahnya terlalu ‘manis’ untuk menjadi Bung Karno
Maudy Koesnady, pemeran Inggit Garnarsih pun tak kalah memikat. Sosok kembang desa Kamasan, Bandung yang memikat hati Soekarno dan sempat membuat munculnya isyu bahwa Bung Karno terlalu diatur Inggit mampu di perankan dengan sangat luar biasa. Belum lagi caranya marah saat hendak dimadu ala Inggit membuatku seakan sedang menjadi pak RT yang sedang melihat cek-cok pasangan suami istri ini secara langsung dan nyata.
Kemudian sosok Bung Hatta yang di perankan oleh, hadeh, Lukman Sardi ini kembali membuatku angkat topi. Padahal sudah entah berapa kali aku melihatnya berperan di layar lebar. Namun Lukman Sardi seperti bungklon yang mampu menjadi apa saja, mencitrakan apa saja.
Nah, yang sempat under estimate tentu Tanta Ginting. Maklum, saat sebelum acara nobar dimulai-Daniel Mananta sang pemilik brand Damn, I Love Indonesia sekaligus sponsor nobar kali ini terlalu bayak bercanda saat wawancara. Apalagi jawaban Tanta yang terbawa cengengesan sempat membuatku apriori dengan kemampuannya. Namun, mulut langsung ternganga saat film diputar. Sosok Syahrir yang kecil, cerdas. berapi-api dan lawan sengit diskusi Bung Karno seakan terlahir kembali. Dua jempol, bro!
Dan terakhir, ehem, Ratu Tika Bravani membuatku terbelalak kaget. Kok bisa-bisanya gadis manis kelahiran Denpasar mampu menjadi perempuan Bengkulu yang gaya bahasanya begitu wong kito galo banget. Jujur saja, istriku yang berdarah Melayu Jambi yang gaya bahasanya ala ibu Fatmawati ini kujadikan rujukan. Jika logatnya tak mirip, tentu sudah aku caci maki dan bully di socmed. Namun berhubung perannya sangat-sangat memuaskan sebagai bu Fatma, maka aku hanya mengajaknya berfoto saja di usai acara. Hehehe…
3. Sejarah
Nah, memang harus diakui-bakal banyak kontroversi untuk latar belakang penggambaran sejarahnya. Ada beberapa point yang memang mesti mempertanyakan lagi keabsahannya. Seperti saat adegan Bung Karno diam saja melihat perwira Jepang di pijat perempuan Indonesia yang hanya memakai kutang hingga kesan Bung Karno yang tampak ‘galau’ dalam menghadapi para perempuan.
Bahkan jika tidak hati-hati menonton dan menterjemahkan, bisa jadi pemberontakan dan latihan pidato Bung Karno untuk melawan Belanda selama ini, hanya dikarenakan oleh penolakan orang tua Mien, noni Belanda kekasihnya.
Namun, secara umum-latar belakang sejarah yang difilmkan ini sepertinya lebih merujuk ke wikipedia. Saya pun yakin Hanung sebagai sutradara sudah melakukan beragam survey dan masukan dari narasumber. Tak terkecuali mampir ke Museum Proklamasi untuk mendapat bayangan pembuatan fimnya.
Soal kesan lanjutan perihal sikap koorperatif Soekarno-Hatta, hal ini memang akan membuat pandangan terbelah. Antara kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan atau hadiah dari Kaisar Jepang?
Hal yang sangat bisa dimaklumi. Jangankan pandangan sekarang, padangan rakyat Indonesia zaman dahulu pun begitu. Bahkan di Jepang sendiri juga sempat muncul pemberontakan dari Mayor Kenji Hatanaka yang mengerahkan 1000 pasukan untuk mengepung istana Kaisar agar membatalkan pengumuman kekalahan Jepang terhadap Sekutu yang akhirnya bisa dicegah oleh pasukan yang setia terhadap kaisar.
Hal yang tentu berimbas terhadap pasukan Nippon lain, termasuk di Indonesia. Masih banyak pasukan Jepang yang menolak mengakui kekalahan dan akhirnya bertempur dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar yang dipimpin Soepriadi dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Sedangkan soal polemik dengan keluarga mendiang Soekarno, saya fikir wajar. Tak mudah menyenangkan semua pihak dalam pembuatan biopic seperti ini. Apalagi sosok yang difilmkan sudah meninggal dunia. Kalau tidak mau ada polemik pembuatan biopic, memang para sineas paling aman membuat film branding sosok yang masih hidup saja.
Contohnya film tentang sosok salah satu capres 2014 yang sedang digarap dan akan ditayangkan sebentar lagi. Soal isi filmnya, pasti sudah banyak menebak, lha wong jangankan fimnya-acara kuis yang dibuatnya di stasiun televisi sebelumnya juga sudah ketebak jawabannya padahal soalnya belum dibacakan. “A. Istana Maimun!” hihihi…
4. Suasana Nobar
Senang rasanya saat saya bisa bertemu rekan-rekan blogger reporter lain dari BRID. Soalnya, jarang sekali bisa bertatap muka dengan para sahabat ini mengingat selama ini hanya bisa berjumpa di dunia maya.
Acara yang rencananya dimulai jam 19.00 WIB sedikit mundur karena ada sesi wawancara dengan beberapa pemeran utamanya minus mbak Maudy Koesnady.
Sempat bulu kuduk ini merinding saat sebelum acara dimulai. Setelah lama sekali, terakhir sebelumnya film Merah Putih 3-akhirnya ada lagi film yang mensyaratkan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum pemutaran filmnya. Walau pun, usai menyanyikan lagu Indonesia Raya, sesaat acara film dimulai, terbahak dengan intro lagu keroncong ‘Terang Bulan’.
Entah apa maksudnya ini. Antara memang sebagai ketidaksengajaan atau memang sindiran ke Malaysia yang sering disebut “Indonesia KW2″. Hahaha…
Nah, kurang lebih beberapa laporan pandangan mata mengenai film Soekarno ini. Film yang membuat istriku mendadak hari ini ingin sekali menontonnya juga.
Entah karena memang penasaran dengan cerita yang kubawa pulang atau gara-gara usai membaca berita perihal putusan Pengadian Niaga untuk penurunan film ini di bioskop oleh laporan Rachmawati ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor perkara 93/Pdt.SUS-HakCipta/2013/PN.Niaga.Jkt.Pus pagi ini (14/12/2013).
Byuh!
———-
Penulis,
@hazmiSRONDOL
0 Response to "review film SOEKARNO"
Posting Komentar